- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
USTADZ SUNNAH
@salimafillah
(sebuah postingan yang tersebar di media sosial WA)
(sebuah postingan yang tersebar di media sosial WA)
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
sahabat ada sebuah kajian yang menarik apabila kita simak yang disampaikan oleh ustadz Salim A Fillah, lebih jelasnya silahkan sahabat simang kajian beliau tentang "ustdz sunnah" dan "kajian sunnah".
selamat menyimak...
Ada istilah yang baru-baru ini membuat dahi berkerenyit, ketika sebagian penuntut ilmu membuat kategorisasi adanya "Ustadz Sunnah" dan "Kajian Sunnah". Saya berfikir, jadi yang selain itu, ustadz apa dan kajian apa?
sahabat ada sebuah kajian yang menarik apabila kita simak yang disampaikan oleh ustadz Salim A Fillah, lebih jelasnya silahkan sahabat simang kajian beliau tentang "ustdz sunnah" dan "kajian sunnah".
selamat menyimak...
Ada istilah yang baru-baru ini membuat dahi berkerenyit, ketika sebagian penuntut ilmu membuat kategorisasi adanya "Ustadz Sunnah" dan "Kajian Sunnah". Saya berfikir, jadi yang selain itu, ustadz apa dan kajian apa?
Dua kemungkinan. Kalau "sunnah" di situ kebalikan
dari "bid'ah", maka berarti ada ustadz bid'ah dan kajian bid'ah. Atau
kalau "sunnah" di situ kebalikan dari "makruhah", berarti
ada ustadz makruh dan kajian makruh.
Betapa tak nyaman bagi yang terkena gelaran.
Tidak, saya tak hendak menyalahkan pembuat istilah. Mereka
yang bersemangat menuntut ilmu adalah orang-orang yang dimudahkan jalannya ke
surga. Betapa saya berharap menjadi bagian dari mereka, walau mungkin hanya
senilai anjing bagi Ashhabul Kahfi atau bahkan debu yang menempel di kaki.
Tapi bersama itu, mohon izin saya ceritakan ulang kisah
berikut ini.
“Suatu kali”, demikian dihikayatkan Imam Tajuddin As Subki
dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang perempuan mendatangi majlis
ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di antara mereka terdapatlah
Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim, dan banyak lagi
yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanadnya, dan
membilang keragaman matannya.”
Ketika mereka sedang saling berbagi hadits, tetiba perempuan
itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku adalah seorang wanita yang
bekerja sebagai tukang memandikan jenazah. Bagaimanakah hukumnya untukku jika
harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan haidh?”
Semua ‘ulama besar yang hadir waktu itu tidak ada yang mampu
menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka,
tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung untuk menjawab persoalan itu.
Ketika majelis itu terjeda hening karena tetap tak ada
jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur, murid Imam Asy
Syafi'i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau
sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada
orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh
penduduk dunia."
Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam.
Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan dirinya, “Bolehkah wanita
haidh memandikan jenazah?”
Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada
masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi
Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam pernah bersabda, “Adapun haidhnya dirimu bukanlah berada di tanganmu.”
Dan juga berdasarkan perkataan Ibunda kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami,
membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyela-nyelai
rambut beliau, menyisir, serta meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam
keadaan haidh.”
“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”,
simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita
yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih
jelas lagi.”
Mendengar jawaban yang sangat jeli itu, serta-merta para
ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah
disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau jalur periwayatan yang ada
pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..”
Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai
akhirnya mereka membahas derajat berbagai macam riwayat hadits tersebut.
Melihat hal ini, si tukang memandikan jenazah berkata heran,
"Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"
Kisah ini sama sekali bukan dalam rangka merendahkan
kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini hanya, gambaran penting
atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi'i. Beliau menyatakan bahwa Ahli
Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang khazanah obat, melainkan
juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits adalah apotekernya.
Sudah seharusnya mereka bekerjasama, bukan saling menjauh
dan saling mengatakan bahwa yang satu tak paham obat, yang lain tak mengerti
pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih banyak membuat bid'ah, padahal
sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang shahih tapi disesuaikan
dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Atau
mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal mereka memang hanya
memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.
Kalau yang dimaksud Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah adalah
para Ahli Hadits, pergi ke Apoteker memang menjadikan kita memperoleh obat.
Jawabannya terang dan pasti; sakit A maka obatnya X.
Tapi cobalah sesekali datang ke majelis Ahli Fiqih yang
mungkin tidak tampak sebagai Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah; barangkali di
sana kita akan berjumpa dokter yang akan memeriksa kesesuaian kondisi badan
kita dengan obat yang ada.
Kadang memang majelis seperti ini tidak langsung tegas
memberi jawab obatnya apa. Telaahnya sering agak memutar, rumusannya sering tak
pasti, tapi ia memberi kita wawasan untuk berpikir serta memutuskan pilihan
sendiri. Demikianlah terapi yang mendewasakan kita dalam beragama.
[Ust. Salim A.
Fillah]
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar